PENDIDIKAN KEPERAWATAN HUBUNGAN PERILAKU ORANG
TUA TENTANG TOILET TRAINING
DENGAN KEJADIAN ENURESIS (NGOMPOL) PADA
ANAK USIA TODLER
Syintia Larasati
Dosen Pembimbing
: Tuti Sulastri
Akademi
Keperawatan Pemerintah Kabupaten Serang
ABSTRAK
Kejadian mengompol pada anak usia 4-5 tahun sering disebabkan karena perilaku orang tua tentang kurangnya pelatihan toilet. Dengan pelatihan toilet awal diharapkan untuk mengatasi masalah mengompol pada anak-anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan orang tua, perilaku pelatihan toilet dengan kejadian anak enuresis (mengompol) berusia 4-5 tahun.
Pelatihan toilet baik dilakukan sejak dini untuk menanamkan kebiasaan baik pada anak, adapun keberhasilan pelatihan toilet tergantung dari adanya kerjasama yang baik antara orang tua dan anak, kerja sama yang baik akan menghasilkan rasa saling percaya pada orang tua dan anak. Suksesnya pelatihan toilet tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan keluarga.
Kata kunci: Perilaku Orang tua; Pelatihan Toilet; Ketidaksanggupan
mengatur kencing
ABSTRACT
Incidence
of bedwetting in children aged 4-5 years
is often caused due to the behavior of the
parents about the lack of toilet training. With early toilet training is expected
to overcome the problem of bedwetting in children. This research aim to
determine the relationship of
parents,behavior on toilet training with the incidence of enuresis (bedwetting)
children aged 4-5 years.
Toilet training is best done early
to instill good habits in children, as for potty training success depends on
good cooperation between parents and children, the good cooperation will
generate trust in parents and children. The success depends on the readiness of
toilet training that is in the child and family.
Keywords:
Parent Behavior; Toilet Training ; Enuresis
PENDAHULUAN
Enuresis
(ngompol) adalah gangguan umum dan bermasalah yang didefinisikan sebagai keluarnya
urine yang disengaja atau involunter di tempat tidur (biasanya di malam hari)
atau pada pakaian di siang hari dan terjadi pada anak-anak yang usianya secara
normal telah memiliki kendali terhadap kandung kemih secara volunter. Untuk
gangguan yang didiagnosis sebagai enuresis, kronologis atau usia perkembangan
anak minimal harus 5 tahun dan pengeluaran urine harus terjadi minimal dua kali
seminggu dan sekurang-kurangnya terjadi selama 3 bulan. Gejala utama adalah
desakan yang timbul cepat dan disertai dengan ketidaknyamanan akut,
kegelisahan, dan kadang-kadang sering berkemih. (Donna L.Wong, 2009:638).
Enuresis
lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Hal tersebut
terutama adalah perubahan fungsi neuromuskular kandung kemih dan sering kali
tidak berbahaya dan menghilang sendiri. Ngompol nokturnal biasanya berhenti
pada usia antara 6 dan 8 tahun, walaupun kadang-kadang ngompol ini berlanjut
sampai masa remaja. (Donna L.Wong, 2009:638).
Penyebab
organik yang mungkin berhubungan dengan enuresis harus disingkirkan sebelum
mempertimbangkan faktor-faktor psikogenik. Penyebab organik tersebut termasuk
golongan struktural saluran kemih; infeksi saluran kemih; defisit neurologis,
gangguan yang meningkatkan haluan normal urine, seperti diabetes; dan gangguan
yang mengganggu kemampuan ginjal untuk memekatkan urine seperti diabetes; dan
gangguan yang mengganggu kemampuan ginjal untuk memekatkan urine, seperti pada
gagal ginjal kronis atau penyakit sel sabit. Volume kandung kemih 300 sampai
350 ml adalah cukup untuk menahan urine pada malam hari. (Donna L.Wong,
2009:638).
Berbagai
teknik terapeutik dilakukan dalam penatalaksanaan enuresis. Teknik ini terdiri
atas obat-obatan, pelatihan kandung kemih, pembatasan atau eliminasi cairan
setelah makan malam, bangun di malam hari untuk berkemih, dan beberapa jenis
peralatan elektrik yang dirancang untuk membuat respons refleks yang dapat
dikondisinikan guna membangunkan anak pada saat mulai berkemih. Obat
antidepresan trisiklik imipramin (Tofranil) digunakan untuk menghambat urinasi.
Obat antikolinergik lain,yaitu oksibutinin, mengurangi kontraksi kandung kemih
yang bebas hambatan dan mungkin membantu bagi anak-anak yang sering berkemih di
siang hari. Desmopresin nasal semprot (DDAVP), analog dengan vasopresin,
mengurangi haluaran urine di malam hari sampai volume yang kurang dari
kapasitas kandung kemih fungsional. (Donna L.Wong, 2009:638).
Mengingat
pentingnya Toilet Training maka tugas
tenaga kesehatan untuk meningkatkan
perannya dalam pembelajaran salah satunya adalah memberikan pendidikan kesehatan tentang toilet training atau juga
membantu orang tua guna mengidentifikasikan kesiapan anaknya untuk toilet training. (Miftakhul,2010: 1). Upaya untuk mengatasi masalah
ngompol pada anak salah satunya adalah toilet
training. Sikap orang tua dalam Toilet training adalah memberi
pengalaman menyenangkan pada anak tentang cara melakukan Toilet training. Toilet training
adalah proses pengajaran untuk buang air
besar dan buang air kecil secara benar dan teratur, Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar
mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. (Anonim,
2011:143).
Kontrol
volunter sfingter anal dan uretra terkadang dicapai kira-kira setelah anak
berjalan, mungkin antara usia 18 dan 24 bulan. Namun diperlukan faktor
psikofisiologis kompleks untuk kesiapan. Anak harus mampu mengenali urgensi
untuk mengeluarkan dan menahan eliminasi serta mampu mengomunikasikan sensani
ini kepada orang tua. Selain itu, mungkin ada berbagai motivasi yang penting
untuk memuaskan orang tua dengan menahan, daripada memuaskan diri dengan
mengeluarkan eliminasi. (Donna L.Wong, 2009:471).
Biasanya,
kesiapan fisiologis dan psikologis belum lengkap sampai anak berusia 18 sampai
24 bulan. Pada saat ini, anak telah menguasai mayoritas keterampilan motorik
kasar yang penting, mampu berkomunikasi dengan pintar, jarang mengalami konflik
dengan negativisme dan pernyataan diri, dan menyadari kemampuan untuk
mengontrol tubuh dan memuaskan orang
tua. Salah satu tanggung jawab perawat adalah membantu orang tua
mengidentifikasi tanda kesiapan pada pada anak mereka. Latihan defekasi
biasanya selesai sebelum berkemih karena latihan defekasi lebih teratur dan
lebih mudah diramalkan. Sensasi defekasi lebih kuat daripada berkemih di malam
hari belum bisa diselesaikan sampai usia 4 atau 5 tahun, dan bahkan
penyelesaian latihan yang lebih dari usia tersebut masih normal (Luxem dan
Christophersen, 1994 dalam Buku Ajar Keperawatan Pediatrik:471).
Sejumlah
teknik dapat membantu ketika memulai latihan. Salah satunya adalah pemilihan
tempat duduk berlubang untuk eliminasi (potty
chair) atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang
tidak ditopang oleh benda lain memungkinkan anak merasa aman. Menjejakkan kaki
dengan kuat ke lantai juga memfasilitasi defekasi (Stark, 1994 dalam Buku Ajar
Keperawatan Pediatrik:471).
Pilihan
lain adalah tempat duduk portabel yang diletakkan di atas toilet biasa, yang
memudahkan transisi dari kursi berlubang untuk eliminasi ke toilet biasa.
Menempatkan bangku panjang yang kecil dibawah kaki membantu menstabilkan posisi
anak. Mungkin paling baik menempatkan kursi berlubang untuk eliminasi di kamar
mandi dan membiarkan anak mengamati eksresinya ketika dibilas ke dalam toilet
untuk menghubungkan aktivitas ini dengan praktik yang biasa. Bila tidak
tersedia kursi berlubang untuk eliminasi, menghadapkan anak ke tangki toilet
memberi dukungan tambahan. Anak lelaki bisa memulai toilet training dalam posisi berdiri atau duduk di kursi berlubang
untuk eliminasi atau di WC. Meniru ayahnya selama masa prasekolah merupakan
dorongan motivasi yang sangat kuat. Sesi latihan harus dibatasi 5 sampai 10
menit, orang tua harus menunggui anak, dan kebiasaan sanitasi harus dilakukan
setiap kali selesai eliminasi. Anak harus dipuji karena perilaku kerjasamanya
dan/atau evaluasi yang berhasil.
Memakaikan anak pakaian yang mudah dilepas; menggunakan celana latihan, diapers berbentuk celana atau celana pendek; dan mendorong imitasi dengan melihat orang lain adalah anjuran yang sangat membantu. Memaksa anak duduk di kursi berlubang untuk eliminasi atau di WC dalam waktu yang lama, memukulnya bila pengeluaran eliminasi tidak di tempatnya, dan cara kontrol negatif lainnya harus dihindari. (Taubman, 1997 dalam Buku Ajar Keperawatan Pediatrik:471).
Memakaikan anak pakaian yang mudah dilepas; menggunakan celana latihan, diapers berbentuk celana atau celana pendek; dan mendorong imitasi dengan melihat orang lain adalah anjuran yang sangat membantu. Memaksa anak duduk di kursi berlubang untuk eliminasi atau di WC dalam waktu yang lama, memukulnya bila pengeluaran eliminasi tidak di tempatnya, dan cara kontrol negatif lainnya harus dihindari. (Taubman, 1997 dalam Buku Ajar Keperawatan Pediatrik:471).
TINJAUAN TEORITIS
Toilet Training
pada anak adalah latihan menanamkan kebiasaan pada anak untuk aktivitas buang air kecil dan buang air besar
pada tempatnya (toilet). Toilet training pada
anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air
besar dan air kecil. Toilet training dapat berlangsung pada
fase kehidupan anak, yaitu umur 12 bulan sampai 3 Tahun. Dalam melakukan latihan
buang air kecil dan besar membutuhkan persiapan naik secara fisik, psikologis maupun
secara intelektual, melalui persiapan tersebut anak mampu mengontrol buang air
besar maupun buang air kecil sendiri.
Toilet training
dapat dilakukan pada setiap anak yang sudah memasuki fase kemandirian pada anak.
Suksesnya anak tergantung pada kesiapan pada diri anak dan keluarga, seperti
kesiapan fisik, dimana kemampuan secara fisik pada anak sudah kuat dan mampu.
Hal ini dapat ditunjukan anak mampu duduk atau berdiri sehingga memudahkan anak
untuk dilatih buang air besar dan kecil. Persiapan intelektual juga dapat
membantu
dalam
hal dapat ditunjukan apabila anak memahami arti buang air besar dan kecil
sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak dapat mengetahui kapan saatnya
buang air besar, persiapan tersebut akan menjadikan diri anak selain mempunyai kemandirian
dalam mengontrol khususnya buang air kecil dan buang air besar (toilet training). Pelaksanaan toilet
training dapat dimulai sejak dini untuk melatih respon terhadap kemampuan
untuk buang air kecil dan buang air besar.
METODE PENELITIAN
Metode
yang dipakai adalah metode wawancara dengan pihak-pihak yang bersangkutan,
meliputi :
Where
: Di wilayah mana perancangan ini ditempatkan agar mengenai target perancangan
dengan tepat?
When
: Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat perancangan?
How : Bagaimana agar perancangan tentang toilet
training ini dapat berguna bagi anak dan pesan tersampaikan dengan baik ke
orang tua.
HASIL PENELITIAN
Meliputi
:
Karakteristik
Responden :
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pekerjaan
Analisis
Univariat
Analisis univariat ini digunakan untuk memberiakn gambaran tiap
variabel.
1.Pengetahuan ibu tentang toilet
training.
training.
2.Sikap ibu tentang toilet training.
3.Praktik toilet training.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat ini
digunakan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu tentang
toilet training dengan praktik toilet
training
1.Hubungan antara
pengetahuan ibu tentang toilet training
dengan praktik toilet training.
2. Hubungan antara sikap ibu
tentang toilet training dengan
praktik toilet training.
PEMBAHASAN
1. Pola
Asuh Ibu
Pola
asuh adalah suatu sistem atau cara pendidikan dan pembinaan yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain (Maimunah Hasan, 2009 : 24). Ada beberapa tipe pola
asuh, di antaranya adalah : tipe demokratis, tipe otoriter, tipe penyabar
(permisif), dan tipe penelantar. Dari keempat tipe pola asuh tersebut, pola
asuh demokratis merupakan pola asuh yang cocok atau bagus untuk di terapkan kepada
anak, sebab pola asuh ini dapat menciptakan anak yang mandiri, dapat mengontrol
diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat
terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain. (Suparyanto,
2010).
Pendidikan ibu
akan mempengaruhi kesiapan toilet
training pada anaknya akan mengalami kesulitan
karena ibu masih awam terhadap konsep toilet training. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Warner&Kelly (2006) bahwa
semakin tinggi pendidikan ibu
akan mempengaruhi kesiapan toilet training,
karena dengan pendidikan yang
tinggi ibu semakin mudah paham mengenai konsep
toilet training pada anak. Pekerjaan ibu juga dapat mempengaruhi kesiapan
toilet training pada anak. Ibu
dengan pekerjaan swasta memiliki waktu
yang yang sempit
dan seringkali disibukkan oleh
pekerjaan sehingga membuat ibu jarang memberikan stimulasi pada
anaknya, khususnya pemberian stimulasi
dalam penerapan toilet training.
Sehingga anak yang minim mendapatkan
stimulasi dari orang tua
dapat mengakibatkan anak
tersebut memiliki kesiapan toilet
training yang kurang bila
dibandingkan dengan anak yang sering diberikan stimulasi.
Usia ibu
juga mempengaruhi kesiapan toilet
training pada anak.
Ibu yang berusia dewasa
muda masih belum memiliki
pengalaman yang cukup mengenai perawatan anak
khususnya dalam penerapan toilet
training. Kenyataannya ibu dengan
usia dewasa muda ini masih memiliki
ketergantungan yang lebih terhadap
orang tuanya, bila
dibandingkan
dengan ibu yang
berusia dewasa tua. Terbukti
ibu dengan usia dewasa
muda masih dominan mempercayakan orang
tuanya dalam segala hal yang
berhubungan pengasuhan dan
perawatan anaknya.
Jenis
kelamin anak merupakan salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi kesiapan toilet
training pada anak.
Anak perempuan sesungguhnya lebih
displin dalam penerapan toilet
training hanya saja pada hasil
penelitian ini diperoleh
jenis kelamin perempuan lebih
dominasi dari laki-laki sehingga
jumlah perbandingan antara laki-laki
dan perempuan tidak seimbang. Hasil
penelitian ini juga
2. Kemandirian
Toilet Training
Toilet training
merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol hajatnya apakah itu saat
ia ingin buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) (Maria Suryabudhi, 2001
: 33). Supaya anak berhasil dalam menjalankan toilet training, seharusnya
seorang ibu dapat mengetahui kapan/usia yang tepat untuk mengajarkan toilet
training pada anak. Karena usia yang tepat dapat berpengaruh pada kesiapan anak
secara fisik dan mental. Kemandirian merupakan kesiapan atau kemampuan individu
untuk berdiri sendiri yang ditandai dengan keberanian mengambil inisiatif, mencoba
mengatasi masalah tanpa meminta bantuan orang lain, memperoleh kekuatan dari
usaha-usaha, berusaha dan mengarahkan tingkah laku menuju kesempurnaan. (Habib
,2010).
3.
Hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler
Pola
asuh demokratis yang di terapkan
oleh
ibu kepada anaknya membuat anak–anak mereka menjadi mandiri. Hasil dari gaya
pengasuhan yang demokratis : menghasilkan karakteristik anak yang mandiri,
dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi
stress, mempunyai minat terhadap hal–hal baru dan kooperatif terhadap orang
lain.
KESIMPULAN
1. Interaksi
antara anak dan orang tua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga, begitu
juga ketika orang tua memberikan training
toilet pada anak, akan tercipta hubungan erat saling menyayangi antara
keduanya.
2. Toilet training
adalah proses pengajaran untuk buang air
besar dan buang air kecil secara benar dan teratur, sehingga anak menjadi
pribadi yang mandiri.
3. Pelaksanaan toilet
training dapat dimulai sejak dini untuk melatih respon terhadap kemampuan
untuk buang air kecil dan buang air besar.
4. Mengingat
pentingnya Toilet Training maka tugas
tenaga kesehatan untuk meningkatkan
perannya dalam pembelajaran salah satunya adalah memberikan pendidikan kesehatan tentang toilet training atau juga
membantu orang tua guna mengidentifikasikan kesiapan anaknya untuk toilet training.
SARAN
1. Ibu
Ibu diharapkan setelah diajarkan oleh perawat cara
mengajarkan toilet training yang
benar, ibu dapat mengerti dan mempraktikkan toilet training dengan benar kepada anaknya.
2. Masyarakat
Masyarakat
diharapkan dapat menjadikan penelitian ini sebagai
acuan bagi masyarakat untuk
menggerakkan ibu-ibu untuk berupaya melatih toilet
training anaknya secara optimal.
3.Peneliti lain
Peneliti selanjutnya diharapkan
dapat meneliti faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap praktik toilet training ibu serta pengaruh pengetahuan
ibu tentang toilet training terhadap
peningkatan kualitas praktik toilet training ibu pada anaknya agar
dapat menyempurnakan penelitian sebelumnya
dan dapat menjadikan hasil penelitian ini
sebagai referensi tambahan untuk peneliti selanjutnya di perpustakaan.
4.Institusi pendidikan
Institusi pendidikan diharapkan
dapat menambah referensi tentang toilet training pada anak, dan metodologi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Nurul Kamariyah, Mutmilah Tukhusnah
Journal
of Health Sciences,
2013 - journal.unusa.ac.id
Soetjiningsih. 2007.Tumbuh Kembang Anak. Jakarta
: EGC
Wong, DL. 2009. Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
0 komentar:
Posting Komentar